Menilik Modal Sosial Masyarakat Nelayan

by - November 06, 2019


Bermimpi menyulap kawasan pesisir menjadi desa wisata, sebut saja wisata bahari[i], mau tidak mau kita harus menilik ikatan solidaritas masyarakat nelayan yang ada. Apapun yang tertemukan dalam tilikan ikatan solitaritas nanti, kita harus memandang arif untuk difungsikan dalam mendukung rencana program wisata. Etika ini penting untuk dimiliki para agen yang sedang memperjuangkan desa nelayannya menjadi desa wisata bahari.
Jika dalam sebuah tilikan, ikatan solidaritas yang tertemukan adalah ikatan solidaritas tradisi, maka daya dan energi itu harus digunakan untuk mendorong terwujudnya program yang ada. Begitupun, jika dalam kajian, ikatan solidaritas yang ada cenderung berlimpah ikatan solidaritas berbasis profit, pun juga dapat digunakan untuk modal sosial[ii] dalam mewujudkan desa wisata bahari yang diimpikannya.
Sikap yang arif di atas menjadi penting dihadirkan. Mengapa demikian? Karena dalam merencanakan sebuah perubahan sosial, prinsipnya adalah ketika proses berjalan harus memuliakan masyarakatnya. Membenci hingga menghilangkan anggota masyarakat pada saat memperjuangkan desa wisata bahari, adalah awal kegagalan dari program desa wisata bahari. Konflik horizontal secara berkepanjangan sama saja membuang kesempatan dan tidak menghargai potensi sosial. Semua musti dirangkul, semua musti dimuliakan, karena merekalah yang selama ini menjadi penjaga dan pelestari kebaharian.
Setelah urusan etika di atas sudah selesai, selanjutnya adalah mengkaji dengan jeli tentang dinamika sosial pada masyarakat nelayan, yaitu mengkaji ikatan solidaritas masyarakat nelayan. Inilah inti dari tulisan ini, yaitu menilik ikatan solidaritas masyarakat nelayan untuk digunakan modal sosial menuju kawasan wisata bahari yang berkelanjutan.
Mengkaji rencana perubahan sosial, dalam sosiologi acapkali kali tak lepas dari perspektif Durkheim tentang ikatan solidaritas. Dalam pemahaman terbatas, Durkheim mendedahkan bahwa ikatan solidaritas  adalah kesadaran kolektif yang menggerakkan akan semua tindakan social. Durkheim membagi ikatan solidaritas dalam dua alur. Pertama, alur solidaritas mekanik[iii]. Dan alur kedua adalah solidaritas organik[iv].
Alur solidaritas mekanik biasanya dipahami sebagai ikatan kesadaran kultural. Yang menggerakkan kesadaran dalam membangun ikatan sosial ini adalah sistem tradisi. Biasanya, perilaku sosial yang dijalankan pada solidaritas mekanik ini adalah perilaku sosial berbasis nilai (value). Contoh dalam masyarakat nelayan adalah melangsungkan tradisi sedekah laut. Mereka melakukan tindakan sosial sedekah laut, biasanya dilandasi dengan kesadaran kultural, bahkan terkadang dibalut dengan keyakinan.  
Selanjutnya alur yang kedua adalah alur solidaritas organik. Untuk mengidentifikasi alur kali kedua ala Durkheim ini dapat dilihat dengan mengidentifikasi fenomena “Nyumbang[v]” saat hajatan di masyarakat nelayan. Seperti halnya pada tradisi sedekah laut[vi] dan gotong royong, bahwa tradisi “Nyumbang” pun berjalan atas dasar kesadaran. Hanya saja perilaku resiprosikal ini cenderung kuat dilandasi orientasi keuntungan.
Sedekah Laut dan Membangunkan Rumah Runtuh
Penjelasan logis terhadap perilaku solidaritas sedekah laut adalah adanya keterbatasan kemampuan para nelayan untuk menghalau petaka di laut. Sebuah petaka yang melampaui kekuatan manusia. Untuk itu, perlu adanya penguatan psikis terhadap bagaimana alam batin mereka tidak terbebani oleh petaka tersebut. 
Sebaliknya, bagi yang tidak berpartisipasi dalam tradisi sedekah laut, mereka cenderung bergundah rasa. Batin sekaan dirundung petaka setiap saat yang siap meluluh-lantakkan kapal dan pukatnya. Sehingga wajar, jika dalam perayaan sedekah laut, cukup mudah melakukan penggalangan dana, cukup mudah pelaksanaannya, karena semua sumber daya yang ada telah terkonstruksi dengan ikatan solidaritas jauh-jauh hari sebelumnya.
Begitupun dalam hal keseharian masyarakat nelayan. Panorama bergotong royong dalam mendorong kapalnya ke bibir laut, tindakan saling membantu saat kapalnya tersangkut batu karang, hingga rasa saling menjaga barisan kapal saat ombak besar melanda, itu semua adalah bukti nyata dari pancaran ikatan mekanik masyarakat nelayan.
Hal menarik juga dapat disaksikan ketika para nelayan berlimpah hasil tangkapannya, masyarakat nelayan dengan mudah bergotong royong dalam membantu prosesnya. Nelayan yang berlimpah hasil tangkapan laut, dengan mudah berbagi hasilnya. Mereka seakan tidak memandang penting akan harga dari jerih payah menangkap ikan di laut. Mengapa demikian? Perilaku tersebut berlangsung karena kesadaran kolektif[vii], bahwa usaha menangkap ikan dilaut bukan semata-mata memiliki kapal dan pukat saja. Melaut bagi mereka adalah buah kesadaran akan keselamatan dari petaka. Keselamatan melaut adalah kemurahan Sang Pencipta. Adapun limpahan tangkapan ikan adalah wujud cintaNya kepada hambanya.
Jika menilik pola pemukiman (dahulu) di kawasan nelayan, mereka tidak mengenal politik mercusuar. Filosifi hidup mereka adalah mengalir seperti air. Semua yang ada harus di bawah pusaran air. Siapapun dan apapun yang di atasnya, akan hanyut terbawa karena air sangat benci dengan kesombongan mercusuar yang dibangunnya. Filosofi hidup ini terbangun karena pengalaman hidup mereka yang acapkali rumahnya disapu oleh ombak laut di bibir sana. Filosofi hidup ini juga terbangun dari seringnya kapal-kapal mereka disandarkan di bibir pantai, esoknya lenyap begitu saja. Dalam dokumen-dokumen klasik, rumah-rumah di pemukiman[viii] nelayan tidak mengenal prinsip  menara. Bahan dan berkakas yang digunakan adalah ramah lingkungan. 
Namun pola yang demikian, perlahan berubah. Bahan dan perkakas rumah nelayan sudah bertembok, berbesi, dan bertembaga. Walaupun demikian, ekspresi gotong royong dalam membangun rumah masih dapat dilihat juga. Di pemukiman nelayan Jawa Tengah bagian timur, contohnya. Setiap ada rumah yang terkenakan abrasi, seketika itu juga semua nelayan saling bergotong royong dalam membangunnya.
Dari ulasan singkat di atas, tampak keseharian nelayan cenderung masih terbangun pola solidaritas, tepatnya solidaritas mekanik. Perilaku mereka adalah kesadaran kolektif atau kesadaran bersama dalam membangun konformitas sosial yang ada. Lantas bagaimana memfungsikan ekspresi ikatan solidaritas ini dalam sebuah program perencanaan wisata bahari? Sebelum menghubungkan hal tersebut, mari kita tilik alur solidaritas yang kedua, yaitu ikatan solidaritas organiknya. Apakah solidaritas organik ada? Jika ada, apa bentuknya dan bagaimana dinamikanya? Lantas bagaimana pula menerapkan ikatan solidaritas organik dalam sebuah program perencanaan wisata bahari yang ada?
“Nyumbang” dan Hajatan Keuntungan
Selanjutnya adalah alur solidaritas organik pada masyarakat nelayan. Fenomena menarik yang masih dapat dilihat pada saat ini ada tradisi “Nyumbang” saat hajatan pernikahan pada masyarakat nelayan. Pada saat menggelar hajatan pernikahan, masyarakat nelayan acapkali menggunakan momen ini untuk mengumpulkan sumbangan yang dahulu diberikan kepada kerabat  dan tetangga dekatnya. Setiap hajatan pernikahan di gelar, begitupun dengan hajatan kelahiran dan sunatan, banyak handai-taulan berkumpul bersama. Sekaan wajib hukumnya, pranata resiprositas ini, berlangsung.
Tradisi  “nyumbang” pada masyarakat nelayan adalah bukti nyata masih berlangsungnya membagi beban dan biaya dengan keluarga dan tetangga dekatnya saat hajatan. Untuk melangsungkan hajatan, pemilik hajat tak perlu pusing  tujuh keliling. Berbekal pekabaran hajatan dari rumah ke rumah, dan dengan modal uang seadanya, hajatan dapat berlangsung cukup  meriah. Strategi melangsungkan hajatan besar ini dilakukan sebagai wujud adanya kesadaran bersama untuk saling menanggung  dana dan beragam bahan sembako hingga rokok yang diperlukannya.
Dalam mempersiapkan kenduri dan selametan pernikahan, para saudara dan tetangga dekatnya dikasih tahu terlebih dahulu bahwa yang bersangkutan akan menikahkan anaknya. Tindakan ini juga menjadi pengingat kepada keluarga dan tetangga dekatnya, bahwa yang bersangkutan dulunya pernah memberi sumbangan saat keluarga dan tetangganya melangsungkan hajatan pula. Pada saat itulah, keluarga dekat dan jauhnya, merespon dengan cepat dan sigap atas kesediaannya dalam membalas sumbangan ini dan itu. Biasanya ada yang bersedia menanggung biaya rias pengantin, biaya beras, biaya sound sistem, biaya hiburan orgen, hingga biaya rokok. Tentu kesanggupan ini sesuai dengan sumbangan dari yang bersangkutan pada saat  itu.
Terasa ringan, ketika hajatan pernikahan dilangsungkan dengan pembagian beban biaya. Inilah wujud dari fenomena shared poverty[ix]atau saling merasakan kemiskinan. Walalupun “Nyumbang” ini bernuansa meraup keuntungan, namun ketika ditilik secara mendalam, tradisi “nyumbang” ini terbangun atas ikatan solidaritas. Tanpa adanya ikatan solidaritas, tentu saja masyarakat nelayan akan berat setiap melangsungkan hajatan pernikahan. “Nyumbang” telah  menjadi ekspresi kuat dan ringannya ikatan solidaritas organik. Mengapa? Karena fenomena “Nyumbang” memiliki orientasi keuntungan, namun terlaksana atas dasar kesadaran bersama.  
Modal Sosial dan Rekayasa Wisata Bahari
Ulasan tradisi sedekah laut dan  gotong royong mendirikan rumah nelayan di atas, adalah bukti bahwa masyarakat nelayan memiliki modal sosial yang cukup. Tradisi sedekah laut dan gotong royong mendirikan rumah nelayan, telah melahirkan kesadaran bersama dalam hal menatab petaka laut yang setiap saat mendera. Lantas bagaimana menggunakan modal sosial dalam bentuk kesadaran sosial untuk difungsikan dalam mendorong terwujudnya wisata bahari?
Tradisi sedekah laut dan membangun rumah secara gotong-royong sebagai wujud ekspresi ikatan solidaritas mekanik ini, sudah saat nya tidak hanya digunakan semata-mata untuk membangun kesadaran bersama atas petaka sosial yang akan muncul di masa yang akan datang. Bagaimana dan mulai dari mana menggunakan modal sosial tersebut? Kesadaran bersama ini sudah saatnya digunakan untuk pintu masuk dalam membangun konstruksi sosial bahwa laut itu selain sumber rejeki, juga rentan dengan bencana. Setali tiga uang, modal sosial ini dapat diperluas fungsinya untuk membangun kesadaran kolektif bahwa sumber harmoni masyarakat nelayan tidak hanya dengan melaut saja. Pesona laut juga menjadi penting dijadikan instrumen dalam mewujudkan harmoni nan sejahtera.
Apakah itu pesona laut? Ruang lingkup pesona laut adalah potensi seni tradisi nelayan  dan pantai laut. Potensi seni tradisi nelayan adalah pentas sedekah laut. Potensi pantai laut adalah segala apa yang ada di pantai, mulai dari pasir, ombak, suasana, perahu, aktivitas nelayan, kuliner ikan, cahaya, angin, hingga emosi yang terbangun di laut. Hal tersebut adalah potensi dasar dari modal sosial yang dimiliki masyarakat nelayan. Potensi seni tradisi dan potensi pantai inilah yang perlu diunggulkan.
Karena modal sosial terbesar masyarakat nelayan adalah kesadaran kolektif, maka masyarakat perlu diingatkan bahwa investasi sosial yang paling berharga bukan alat-alat bermain ala pabrikan dan makanan siap saji. Investasi padat modal harus dipandang masuk dalam strata kedua, setelah modal sosial yang menjadi utama. Dengan memposisikan strata modal sosial yang paling istimewa, maka monopoli kesejahteraan atas eksploitasi pesona pantai dan tradisi tidak terjadi, atau minimal dapat dikendalikan.
Terlepas dari kesadaran kolektif yang terbangun atas dasar modal sosial di atas, masyarakat nelayan juga perlu instropeksi diri, bahwa cara mendistribusikan kesejahteraan tidak boleh lewah. Pentas sedekah laut sudah saat nya dikaji, agar pesona tradisi ini tidak menjerat kesejahteraan mereka saat ini dan dikemudian nanti.
Begitupun dalam tradisi “Nyumbang”. Tradisi yang satu ini juga menjadi daya tarik sendiri dalam memintal modal sosial masyarakat nelayan. Tradisi nyumbang yang diekspresikan dengan cara menyumbang saat anggota keluarga dan tetangga dekat melangsungkan hajatan pernikahan. Hal menarik yang terkandung dalam tradisi ini adalah adanya kesadaran kolektif dalam meringankan beban saat hajatan berlangsung. Sehubungan dengan rencana mewujudkan kawasan wisata bahari, tentu tradisi saling meringankan beban ini dapat dijadikan sebagai modal sosial itu sendiri. Mengapa demikian? Iya, karena dalam mewujudkan kawasan wisata bahari, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. 
Dengan demikian, tradisi “Nyumbang” dapat dijadikan pintu masuk dalam hal mendorong terwujudnya kesadaran kemandirian[x] modal dan investasi berbasis partisipasi. Tradisi “Nyumbang” juga memiliki daya tarik dalam prinsip investasi. Hal ini dapat dibuktikan bahwa tradisi “Nyumbang” memimiliki  prinsip kepastian dan kontrol sosial yang kuat saat tradisi ini diakuisisi dalam penggalangan dana untuk modal wisata bahari. Lantas bagaimana caranya?
Dalam memfungsikan dana partisipasi berbasis tradisi ini, dapat digunakan untuk penyediaan beragam fasilitas utama dan penopang wisata bahari. Fasilitas utama kawasan wisata bahari meliputi hal ihwal yang berhubungan dengan peralatan pesona tradisi dan peralatan pesona pantai. Dengan demikian, jika model ini dapat dijadikan pintu masuk dalam pengadaan modal untuk invetasi dalam mendorong terwujudnya kawasan wisata bahari, maka masyarakat akan mandiri, bukan tergantung dan dikendalikan oleh investasi dari luar, yang acapkali menghalangi mimpi kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Demikian strategi menggunakan modal sosial dalam wujud ikatan solidaritas masyarakat nelayan menuju kawasan wisata bahari. Tentu dalam pelaksanaannya, strategi ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Beragam tantangan dan hambatan tentu telah berderet menanti. Tetapi jika daya dan upaya kita lakukan dengan sabar, maka modal sosial yang dimiliki masyarakat nelayan ini,  dapat mewujudkan kawasan wisata bahari.
Salam bahari, salam lestari.
* Penulis adalah Guru Sosiologi SMA Negeri 1 Pamotan
[i] WBD, (dalamhttp://wisatabaharidasun.com/), (Dasun Lasem, 2017)
[ii] Badaruddin, Modal Sosial (Social Capital) dan Pemberdayaan Komunitas Nelayan”, dalam M. Arief Nasution, Badaruddin, Subhilhar, (Editor). 2005. Isu-isu Kelautan : Dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar).
[iii] Goerge Ritzer, Teori Sosiologi (dari Terori Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern), (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011), hal. 93
[iv] Goerge Ritzer, Teori Sosiologi (dari Terori Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern), (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011), hal. 91
[v] Franseska Dian Ratri, 2014, (Pergeseran dan Pemaknaan Tradisi Nyumbang Dalam Pernikahan (Studi Tentang Pergeseran Makna Tradisi Nyumbang di Dusun Jatirejo, Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta), hal. xv
[vi] Slamet Suberkti dan Sri Indah, Upacara Tradisi Sedekah laut Sebagai Media Membangun Solidaritas Sosial: Kasus Pada Masyarakat Nelayan Juwana Pati, (Lembaga Penelitian, UNDIP, 2016), hal. 03
[vii] Goerge Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana, 2011), Hal. 22
[viii] Heritage Tourism of Dasun Ramp River. 2017 (dalam https://www.youtube.com/watch?v=Vc4CDJXRfq).vvvvvvv
[ix] Geertz, Clifford, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976). Hal.
[x] I.B Irawan, Teori-Teori dalam Tiga Paradigma, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), hal. 18

You May Also Like

0 comments